Salah satu keistimewaan agama Islam dibandingkan agama-agama lain adalah bahwa ia memiliki sistem yurisprudensi yang relatif sangat lengkap, sebagaimana sistem yurisprudensi yang biasa terdapat dalam negara-negara modern. Padahal sistem yurisprudensi itu telah disusun dengan cukup terperinci dan sistematis berabad-abad yang lalu sebelum negara-negara modern menyusunnya dengan terperinci.
Namun
sebelum dunia Islam melahirkan karya-karya di bidang hukum yang cukup
banyak, sudah muncul sebuah karya hukum yang dikenal paling klasik yaitu
Code of Hammurabi yang diperkenalkan oleh Hammurabi, raja dari
Babilonia yang hidup pada abad 18 sebelum Masehi. Meski demikian, Hukum
Hammurabi tersebut masih sangat terbatas dan simpel karena hanya berisi
28 paragraf yang terdiri dari beberapa topik tertentu saja.[1]
Di antara bidang yang juga menarik perhatian ahli para hukum Islam adalah bidang kaidah hukum (qawaid al-ahkam). Bidang
ini juga merupakan salah satu bentuk keistimewaan Islam yang –sepanjang
penulis ketahui–tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Kaidah-kaidah
hukum tersebut telah disusun oleh para ulama sejak berabad-abad lalu.
Paling tidak, upaya kodifikasi telah dilakukan oleh Abu Thahir
ad-Dabbas, seorang ahli fiqh Hanafi, yang hidup antara abad 3-4 H.[2] Salah satu karya klasik tentang kaidah fikih yang selamat hingga sekarang adalah Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq yang juga dikenal dengan nama Qawaid al-Qarafi, buah pena Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafi (w. 682 H).[3]
Sebagai
dua sumber utama dalam sistem yurisprudensi Islam, Alquran dan
as-Sunnah tentu saja mempunyai pengaruh besar dalam penyusunan
kaidah-kaidah hukum Islam. Keberpengaruhan ini bisa dipahami karena
kaidah-kaidah hukum itu tetap bersumber dari kedua sumber pokok
tersebut. Setiap kaidah yang disusun oleh para ulama mempunyai dasar
dalam Alquran dan atau hadis.
Salah satu contoh bagaimana kaidah fikih bersumber langsung dari Alquran dan atau as-Sunnah adalah kaidah yang berbunyi:
Kaidah tersebut merupakan yang pertama dari lima kaidah utama hukum Islam. Sebagaimana dijelaskan oleh as-Suyuthi dalam al-Asybah wa an-Nazhair, kaidah tersebut digali berasal dari hadis Nabi SAW yang berbunyi:
Karena
mencakup banyak hal, menurut Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ibnu
al-Madini, Ibnu al-Madini, Abu Daud, ad-Daruquthni, dan lain-lain, hadis
tentang niat tersebut mencakup sepertiga ilmu.[6]
Hadis-hadis
yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, seperti contoh hadis di atas,
memang menunjukkan bahwa beliau orang yang memiliki kemampuan berbahasa
Arab yang sangat tinggi. Karena itulah, sabda-sabda beliau bisa mencakup
(jami’) dan membatasi (mani’) terhadap banyak hal. Tak ayal, terkadang hadis-hadis beliau oleh para ulama ushul langsung dijadikan kaidah hukum tanpa repot-repot mengubah redaksi hadis.
Dari
kaidah utama yang pertama di atas, para ulama kemudian mengelompokkan
sejumlah hadis yang memiliki substansi yang sama dengan kaidah tersebut.
Di samping mengelompokkan hadis, para ulama juga mengelompokkan
persoalan-persoalan tertentu ke dalam kaidah tersebut karena memiliki
unsur-unsur yang sama dan serupa. Hal inilah yang kemudian dikenal
dengan upaya menemukan hal-hal yang mirip (asybah) dan hal-hal yang sebanding (nazhair), sebagaimana yang pernah disarankan oleh Umar bin Khattab kepada Abu Musa:
Dengan
dirumuskan kaidah tersebut, diharapkan bisa dipecahkan
persoalan-persoalan baru yang tidak dijelaskan dalam Alquran dan
as-Sunnah. Pada gilirannya, kaidah tersebut juga bisa diaplikasikan oleh
para mujtahid dalam merumuskan ijtihad-ijtihadnya
Dalam
kaitan Sunah Nabi sebagai sumber kedua dalam Islam, beberapa ulama
hadis menetapkan beberapa hadis tertentu sebagai sumber kaidah pokok. Menurut, Imam Ahmad misalnya, hadis yang dimaksud itu ada tiga,[8] yaitu:
Sedangkan menurut Abu Daud, sumber sunah berasal dari empat hadis, yaitu:
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
مِنْ حُسْنِ إسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
Halal itu jelas dan haram itu jelas
Perbedaan pandangan para ulama hadis tentang hadis-hadis yang menjadi kaidah, sumber, atau ushul yang
utama dalam hukum Islam, tersebut terjadi karena memang merupakan hasil
penalaran masing-masing. Apalagi hal itu merupakan wilayah ijtihad yang
bisa berbeda-beda antara satu ulama dengan ulama lain.
Salah
satu ilmu yang juga berkembang dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam
adalah ilmu manthiq (logika). Ilmu ini berkembang pesat ketika proses
penerjemahan karya-karya filosof Yunani di era rezim al-Manshur dan
al-Makmun pada Dinasti Abbasyiah. Proyek yang didukung oleh pemerintahan
saat itu juga tidak luput menerjemahkan buku-buku tentang logika,
termasuk buah karya Aristoteles yang memang dikenal dengan teori logika
silogismenya.[13]
Dengan
ilmu manthiq itulah, para ulama mempunyai salah satu bekal yang kuat
dalam melakukan penalaran terhadap teks-teks Alquran dan as-Sunnah.
Proses penalaran itu di antaranya dilakukan melalu cara berpikir
deduktif (istikhraj) dan induktif (istiqra). Selain bekal ilmu manthiq, tentu saja pengetahuan tentang bahasa Arab juga mutlak dikuasai oleh para ahli ushul dalam melakukan teorisasi tersebut.
Di samping perangkat logika dan bahasa, perenungan terhadap substansi dan tujuan syariah (maqashid syariah) yang
terkandung dalam teks Alquran dan as-Sunnah, juga berperan penting
dalam proses penyusunan kaidah-kaidah hukum Islam. Tujuan syariat itulah
yang kemudian dikembangkan lebih sistematis oleh Imam asy-Syatibi dalam
karya monumentalnya, al-Muwafaqat.[14]
Di
antara contoh kaidah hukum Islam yang merupakan hasil penalaran yang
mendalam dari para ulama terhadap Alquran dan as-Sunnah adalah:
المشقة تجلب التيسير
Kaidah
tersebut merupakan hasil penalaran para ulama terhadap teks-teks
Alquran dan as-Sunnah, di antaranya ayat Alquran dan hadis Nabi SAW yang
berbunyi:
… dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. …. (QS. al-Hajj: 78)
Salah
satu faktor penyebab munculnya kebutuhan terhadap adanya kaidah hukum
adalah karena ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi yang masih bersifat
partikular (juz’iy) dan kasustik. Agar ayat-ayat dan hadis-hadis bisa diaplikasikan pada kasus-kasus lain yang memiliki substansi dan illat yang
sama, maka dirumuskan kaidah-kaidah berdasarkan ayat-ayat dan
hadis-hadis tersebut. Hal ini juga dimaksudkan agar syariat Islam tetap
aktual dan relevan di setiap tempat dan waktu (shalih li kulli zaman wa makan).
Salah
satu contoh bagaimana kaidah fikih merupakan hasil penalaran terhadap
ayat atau hadis yang bersifat partikular adalah firman Allah yang
misalnya surat:
Ayat
tersebut menerangkan tentang larangan mengonsumsi bangkai, darah,
daging babi dan binatang yang disembelih tanpa dengan nama Allah.
Larangan tersebut bisa digugur jika dalam kondisi darurat asal tidak
karena memang direncanakan dan tidak melampaui batas. Dari ayat
tersebut, meskipun bukan satu-satunya dasar, bisa dipahami jika
dirumuskan kaidah:
Kondisi
darurat atau terpaksa yang membuat suatu larangan bisa menjadi
dibolehkan tidak hanya terbatas pada larangan-larangan yang disebut oleh
ayat di atas. Dengan kata lain, meskipun ayat itu hanya menyebut
larangan-larangan tersebut saja, tetapi larangan-larangan lain yang
tidak disebutkan dalam ayat itu juga bisa berubah dibolehkan jika dalam
kondisi darurat. Dus, kaidah yang diungkapkan di atas merupakan hasil
proses penalaran induktif sehingga membuat teks ayat 173 surat
al-Baqarah di atas tidak hanya dipahami secara kasustik saja.
Ketika
materi Alquran dan as-Sunnah membahas banyak masalah yang ‘berserakan’,
maka kaidah fikih merupakan sebuah upaya kategorisasi dan sistematisasi
masalah-masalah tersebut berdasarkan ruang lingkup masalah yang ada
karena memiliki kesamaan dan kemiripan (al-asybah wa nazhair). Pengelompokan itu memudahkan para ulama belakangan untuk mengidentifikasi masalah lain yang timbul sehingga bisa melakukan istinbath hukum dengan lebih baik dan tepat.
Dengan
kata lain, kaidah fikih merupakan hasil atau kesimpulan ijtihad para
ahli hukum Islam terhadap hukum-hukum fikih yang terperinci (juz’i) dan
terpisah-pisah yang telah memiliki dasar, baik dalam Alquran maupun
as-Sunnah. Hukum-hukum yang terpisah-pisah tersebut kemudian disatukan
ke dalam satu aturan tertentu. Kaidah fikih menjadi kerangka konseptual
yang berfungsi sebagai rambu-rambu umum dan semangat dari fikih yang
bisa diterapkan dalam setiap aturan fikih.[18]
Dengan demikian, secara tidak langsung, kaidah fikih merupakan sebuah
bentuk sistematisasi dan kategorisasi terhadap prinsip-prinsip Alquran
dan as-Sunnah.
Dalam kitab-kitab tentang kaidah-kaidah fikih, misalnya al-Asybah wa Nazhair karya
Imam as-Suyuthi, bisa kita lihat bagaimana kaidah-kaidah dikelompokkan
menjadi ke dalam kaidah-kaidah umum. Kaidah-kaidah umum diperinci
kembali menjadi beberapa kaidah-kaidah khusus. Kaidah-kaidah itu
dijelaskan pula beserta dasar-dasarnya, baik dari Alquran maupun dari
as-Sunnah. Setelah itu, kaidah-kaidah khusus disertai contoh-contoh
masalah yang dipecahkan dengan adanya kaidah-kaidah tersebut.
Selain
sistematika secara tematik seperti itu, ada juga ulama yang menyusun
kaidah-kaidah fikih dalam karyanya secara alfabetis. Hal ini misalnya,
dilakukan oleh az-Zarkasyi dalam karya al-Mantsur fi al-Qawa’id.[19]
Penyusunan secara alfabetis tersebut dimaksudkan untuk memudahkan para
pembaca dalam mencari kaidah-kaidah fikih. Kemudahan tersebut bisa
dirasakan jika memang kita telah mempunyai informasi sebelumnya tentang
kaidah yang ingin dicari, terutama huruf awalnya.
Meskipun para ulama hukum Islam klasik tidak pernah belajar tentang legal drafting layaknya para ahli hukum modern, ternyata
mereka pun sanggup merumuskan prinsip dan kaidah hukum yang cukup baik.
Hal itu terbukti hingga sekarang, prinsip dan kaidah hukum yang
dirumuskan berabad-abad yang lalu masih relevan untuk zaman sekarang.
Meskipun barangkali untuk beberapa hal dalam prinsip dan kaidah yang
dirumuskan mereka itu, perlu diperdebatkan lebih dalam oleh para ahli
hukum Islam modern.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, terj.
Oman bin Haji Khalid dan Mohd. Marzuki bin Hj. Shafie, (Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia, 1978).
Ahmad bin Hambal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal, (Kairo: Muassasah Qurthubah: tt).
Al-Amidi, al-Ihkam f iUshul al-Ahkam.
Asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt).
H. A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000).
Imam Malik, al-Muwaththa, (Mesir: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt).
Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawaid, (Kuwait: Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyyah, 1405 H).
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, Jami’ Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987).