Pages

Kamis, 09 Agustus 2012

“Dimana Alloh?”

Pada masa sekarang ini, di mana banyak diantara kaum muslimin yang sudah sangat menyepelekan masalah aqidah shahihah yang merupakan masalah paling pokok dalam agama ini, maka akan kita dapati dua jawaban yang batil dan kufur dari pertanyaan “Dimana Alloh?”. Yang pertama mereka yang mengatakan bahwasanya Alloh ada dalam diri setiap kita? Dan kedua yaitu yang mengatakan Alloh ada di mana-mana atau di segala tempat?

Seorang Budak Pun Tahu Dimana Alloh

Ketahuilah wahai Saudaraku, pertanyaan “Dimana Alloh?” adalah pertanyaan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak perempuan kepunyaan Mu’awiyah bin Hakam As Sulamiy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya. “Beliau bertanya kepada budak perempuan itu, ‘Dimanakah Alloh?’ Jawab budak perempuan, ‘Di atas langit’ Beliau bertanya lagi, Siapakah aku? Jawab budak perempuan, ‘Engkau adalah Rosululloh’, Beliau bersabda, ‘Merdekakan dia! Karena sesungguhnya dia seorang mu’minah (perempuan yang beriman)’.” (HR. Muslim dan lainnya)

Maka perhatikanlah dengan seksama masyarakat tersebut, yang mana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berjihad bersama mereka, aqidah mereka sempurna (merata) hingga pada para penggembala kambing sekalipun, yang mana perjumpaan (pergaulan) mereka dengan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sangat sedikit, seperti penggembala kambing ini. Kemudian bandingkanlah dengan realita kaum muslimin sekarang ini, niscaya akan kita dapatkan perbedaan yang sangat jauh.

Keyakinan di mana Alloh termasuk masalah besar yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yaitu penetapan sifat Al-’Uluw (sifat ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahwa Dia di atas seluruh mahluk), ketinggian yang mutlak dari segala sisi dan penetapan Istiwa’ (bersemayam)-Nya di atas Al-’Arsy, berpisah dan tidak menyatu dengan makhluk-Nya sebagaimana yang diyakini oleh kaum Wihdatul Wujud, yang telah dikafirkan oleh para ulama kita yang dahulu dan sekarang. Dan dalil-dalil yang menunjukkan penetapan sifat ini sangatlah banyak, sangat lengkap dan jelas, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, ijma’, akal dan fitrah sehingga para ulama menganggapnya sebagai perkara yang bisa diketahui secara mudah oleh setiap orang dalam agama yang agung ini.

Dalil-Dalil Al Qur’an

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “(Robb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thoha: 5). Dan pada enam tempat dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, “Kemudian Dia Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54). ‘Arsy adalah makhluk Alloh yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas, “Dan ‘Arsy tidak seorang pun dapat mengukur berapa besarnya.” (Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, sanadnya Shahih). Ayat ini jelas sekali menunjukkan ketinggian dan keberadaan Alloh Subhanahu wa Ta’ala di atas langit serta menutup jalan untuk meniadakan atau menghilangkan sifat ketinggian-Nya atau mentakwilkannya. Para ulama Ahlus Sunnah pun sepakat bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala ber-istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa mempertanyakan bagaimana cara/kaifiyat istiwa’-Nya. Dan perlu diketahui bahwa penetapan sifat ini sama dengan penetapan seluruh sifat Alloh yang lainnya, yaitu harus berjalan di atas dasar penetapan sifat Alloh sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa ada penyerupaan sedikitpun dengan makhluk-Nya.

Dalil-Dalil As Sunnah

Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah juga sangat banyak, di antaranya adalah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.” (HR. Bukhori-Muslim). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di atas langit.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam Al-Albani). Begitu pula dengan hadits pertanyaan Rosululloh kepada budak perempuan yang telah disebutkan di atas. Imam Adz-Dzahabi berkata setelah membawakan hadits budak perempuan di atas, “Demikianlah pendapat kami bahwa setiap orang yang ditanyakan di manakah Alloh, dia segera menjawab dengan fitrahnya, ‘Alloh di atas langit!’ Dan di dalam hadits ini ada dua perkara yang penting; Pertama disyariatkannya pertanyaan, ‘Dimana Alloh?’ Kedua, disyariatkannya jawaban yang ditanya, ‘Di atas langit’. Maka siapa yang mengingkari kedua perkara ini maka sesungguhnya dia mengingkari Al-Musthofa shollallohu ‘alaihi wa sallam“. (Mukhtashor Al-’Uluw)

Akan tetapi realita kaum muslimin sekarang amat sangat memprihatinkan. Pertanyaan ini justeru telah menjadi sesuatu yang ditertawakan dan jarang dipertanyakan oleh sebagian jama’ah-jama’ah dakwah di zaman ini? Ataukah justru pertanyaan ini telah menjadi bahan olok-olokan semata? Ataukah kaum muslimin sekarang ini telah memahami pentingnya berhukum dengan hukum yang diturunkan Alloh, meskipun mereka menyia-nyiakan hak Alloh? Maka kapankah Alloh akan mengizinkan untuk melepaskan, membebaskan dan memerdekakan kita dari orang-orang kafir yang menghinakan dan merendahkan kita sebagaimana telah dibebaskannya seorang wanita dari hinanya perbudakan setelah ia mengenal dimana Alloh?

Konsekuensi Jawaban yang Keliru

Alangkah batilnya orang yang yang mengatakan bahwasanya Alloh berada di setiap tempat atau Alloh berada di mana-mana karena konsekuensinya menetapkan keberadaan Alloh di jalan-jalan, di pasar bahkan di tempat-tempat kotor dan berada di bawah makhluk-Nya. Kita katakan kepada mereka, “Maha Suci Alloh dari apa-apa yang mereka sifatkan.” (Al-Mu’minun: 91). Dan sama halnya juga dengan orang yang mengatakan bahwasanya Alloh ada dalam setiap diri kita (??) karena konsekuensinya Alloh itu banyak, sebanyak bilangan makhluk? Maka aqidah seperti ini lebih kufur daripada aqidahnya kaum Nashrani yang mengakui adanya tiga tuhan (trinitas). Lebih-lebih lagi mereka yang mengatakan bahwa Alloh tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di depan, tidak di belakang karena hal ini berarti Alloh itu tidak ada (??) maka selama ini siapa Tuhan yang mereka sembah? Adapun orang yang “diam” dengan mengatakan, “Kami tidak tahu Dzat Alloh di atas ‘Arsy atau di bumi” mereka ini adalah orang-orang yang memelihara kebodohan. Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mensifatkan diri-Nya dengan sifat-sifat yang salah satunya adalah bahwa ia istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy-Nya supaya kita mengetahui dan menetapkannya. Oleh karena itu “diam” darinya dengan ucapan “Kami tidak tahu” nyata-nyata telah berpaling dari maksud Alloh. Pantaslah jika Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang berfaham demikian, tentunya setelah ditegakkan hujjah atas mereka.

Dalil Fitrah

Sebenarnya tanpa adanya dalil naqli tentang keberadaan Alloh di atas, fitrah kita sudah menunjukkan hal tersebut. Lihatlah jika manusia berdo’a khususnya apabila sedang tertimpa musibah, mereka menengadahkan wajah dan tangan ke langit sementara gerakan mata mereka ke atas mengikuti isyarat hatinya yang juga mengarah ke atas. Maka siapakah yang mengingkari fitrah ini kecuali mereka yang telah rusak fitrahnya? Bahkan seorang artis pun ketika ditanya tentang kapan dia mau menikah maka dia menjawab, “Kita serahkan pada Yang di atas!” Maka mengapa kita tidak menjawab pertanyaan “Dimana Alloh?” dengan fitrah kita? Dengan memperhatikan kenyataan ini, lalu mengapa kita lebih sibuk menyatukan suara kaum muslimin di kotak-kotak pemilihan umum sementara hati-hati mereka tidak disatukan di atas aqidah yang shahih? Bukankah persatuan jasmani tidak akan terwujud bilamana ikatan hati bercerai-berai? Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu mengira mereka itu bersatu, padahal hati-hati mereka berpecah-belah.” (Al-Hasyr: 14). Hanya kepada Alloh-lah kita memohon perlindungan.

***

Penulis: Abu Ibrohim Hakim
Artikel www.muslim.or.id

ulama' warosatul anbiya'

“Engkau akan minum dari lautan ilmunya, memakan dari gugusan karunianya, dan berbahagia dalam sentuhan rahmatnya. Sungguh, keadaan ini hanya di berikan kepada satu diantara sejuta orang”

Wahai ghulam, engkau harus selalu bertakwa, janganlah mengikuti nafsu dan kawan2 yang jahat. Seorang mukmin tidak boleh lelah dalam memerangi mereka. Janganlah memasukkan pedang ke dalam sarungnya, bahkan jangan turun dari keduanya. Dia tidur seperti para wali, makan ketika telah lapar, yang di bicarakan dan diam menjadi perangai mereka. Hanya ketentuan Allah dan perbuatan Allah yang membuat mereka berbicara. Allah swt. Yang menggerakkan lidah mereka untuk berbicara sebagaimana Allah telah menggerakkan anggota badan mereka untuk berbicara kelak pada hari kiamat. Allah swt. Yang menjadikan sesuatu dapat berbicara sebagaimana menjadikan benda2 dapat berbicara. Jika Allah swt. Menghendaki itu semua untuk mereka, maka Allah akan menyediakannya. Allah swt. Telah menghendaki agar berita gembira dan peringatan itu sampai kepada manusia.Agar dapat meminta pertanggung jawaban ke atas mereka, maka Allah swt. Telah mengutus para nabi dan rasul a.s Manakalah Allah swt. Telah mengirim para ulama untuk meneruskan kerja tersebut, maka Allah swt. Telah mengirim para ulama untuk meneruskan kerja tersebut dan membangun umat manusia. Nabi bersabda,

                                             ”Ulama adalah pewaris para nabi”

 



 “Celaka, engkau mengaku menjadi Hambanya, tetapi menaati selain dia”
Jika engkau benar2 Hamba-Nya, engkau tentu akan setia kepada-Nya. Seorang mukmin yang yakin tidak mengikuti nafsu, syaitan, dan keinginannya. Ia tidak mengenal syaitan, apalagi menaatinya. Ia tidak mempedulikan dunia, apa lagi tunduk kepadanya. Bahkan ia akan menghinaka dunia dan mencari akhirat. Jika dia berhasil meninggalkan dunia dan sampai kepada tuhannya, maka dia akan murni beribadah kepadanya sepanjang hayatnya, sebagaimana yang di kehendaki Allah swt.

Kenallah parai Warosatul Anbiya' ....



Al Habib Zainal Abidin bin Ibrahim bin Smith al-Alawi al-Husaini

Assalamualaikum Wr Wb

Audzubilaahi minasyaytoni rajiim “ Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk”.
Bismillahi Rohmanirohim “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

Beliau adalah seorang ulama Sunni terkenal dan tinggal di Madinah Arab Saudi. Beliau di lahirkan di Jakarta pada tahun 1357 H/1936 M dan Ayahnya bernama Habib Ibrahim yang menjadi ulama besar betawi. Habib Zain tinggal dalam lingkungan religius, sedari kecil dia berada dalam lingkungan religius dengan didikan habib Ibrahim (Abi nya)….dari sini, jamak jika beliau dari kecil sudah mengenal agama dengan baik, baik ilmu pengetahuan maupun amaliah sehari hari.

Habib Zain mengais ilmu dari ulama-ulama betawi, diantaranya Habib Alwi bi Muhammad Al Haddar yang menjadi guru pertamanya. Selain itu beliau juga berguru kepada Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang). Pada saat beranjak usia 14 tahun beliau dikirim oleh Ayahnya Habib Ibrahim ke Hadramaut,Tarim.di bumi Awliya’ itu Habib Zain tinggal di rumahnya.

Beliau mengkhususkan belajar di Ribath Tarim, di sinilah beliau memperdalam ilmu agama,antara lain mengaji kitab ringkasan (mukhtashar) dalam bidang fikih kepada Habib Muhammad Bin Salim bin Hafidz. Di bawah asuhannya,Habib Zein berhasil menghapalkan kitab fikih buah karya imam ruslan,”Zubad”, dan “Al-Irsyad” karya asy-Syarraf ibn al-Muqri, serta kitab “Al-Manhaj” yang disusun oleh Habib Muhammad sendiri,menghapal bait-bait (nazham) “Hadiyyah as-Shadiq” karya Habib Abdullah bin Husain bin Thahir dan lainnya.

Di Tarim beliau sempat berguru kepada sejumlah ulama besar,seperti : Habib Umar bin Alwi Al-kaf, Syekh Salim Sa’id Bukhayyir Bagistan, Habib Salim bin Alwi Al-Khird, Syekh Fadhl bin Muhammad Bafadhl, Habib Abdurrahman bin Hamid As-Sirri, Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aydrus,Habib Ibrahim bin Umar bin Agil dan Habib Abubakar Al-Atthas bin Abdullah Al Habsy.

Habib Zain banyak mendatangi majlis para ulama demi mendapat ijasah,semisal :
1. habib Muhammad bin hadi assegaf, habib ahmad bin musa al habsy,
2. habib alwi bin abbas al maliki al makki,
3. habib umar bin ahmad bin sumaith,
4. habib ahmad masyhur bin thaha al haddad,
5. habib abdul qodir bin ahmad assegaf, dan
6. habib Muhammad bin ahmad as Syatiri.
Salah seorang gurunya Habib Muhammad bin salim bin hafidz menyarankan beliau untuk pindah ke kota Baidhah, salah satu wilayah pelosok bagian negeri Yaman, untuk mengajar di ribath disana sekaligus berdakwah. Ini dilakukan menyusul permohonan mufti Baidhah, Habib Muhammad bin Abdullah al Haddar. Tinggal selama 20 tahun di Baidhah, habib zain memutuskan pindah ke negeri Hijaz (Tanah Suci), karena tak mampu menolak permintaan sayyid Abdurrahman bin hasan Al-jufri untuk membuka ribath di kota Madinah.maka, pada bulan ramadhan 1406 H, habib zain pun hijrah ke kota nabawi itu. Bersama habib salim bin Abdullah as Syatiri, beliau curahkan segenap waktu, tenaga dan pikiran demi besarnya ribath yang di beri nama “ Al-Jufri “.

Di kota suci kedua umat islam tersebut beliau belajar kepada beberapa ulama, diantaranya :
1. Syekh Zaidan as Syanqithi al Maliki,
2. Al alamah Ahmaddu bin Muhammad Hamid al Hasani as Syanqithi
Banyak ulama yang memuji tentang kealiman Habib Zain, salah satunya Sayyid Abubakar bin Ali al Masyhur dalam kitabnya “ Qabasat an Nur” hal 189, bahwa habib zain di gambarkannya sebagai seorang alim yang faqih, seorang yang sangat hafal persoalan-persoalan dalam madzhab Syafi’i, ahli Nahwu, seorang yang terlibat dalam berbagai ilmu, seorang Al-Arif Billah (orang yang sangat mengenal Allah), dan menjadi rujukan dalam fiqih dan fatwa di negeri Hijaz.

Dalam kitabnya “ Al-Ajwibah al-Ghaliyah fi’Aqidah al-firqah an-Najiyah” habib zain banyak mengulas tentang Akidah Ahlussunah Wal Jamaah, yang berisi tentang jawaban atas amaliyah golongan Ahlussunah Wal Jamaah yang selama ini dianggap oleh sebagian kelompok kecil umat islam sebagai amalan yang menyimpang, padahal amaliyah tersebut telah dilakukan oleh generasi terdahulu, yaitu generasi sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan terus hingga sekarang.

Diantara isinya membahas mengenai bebagai persoalan tanya jawab, yaitu :
• Mengenai mengenal Allah, hak Allah atas setiap Hambanya, sifat2 Allah yang wajib di sembah, Siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Allah, pengaruh kekuasaan Allah SWT.
• Mengenal Rasululloh, Keistimewaan nabi Muhammad SAW, Mukjizat Nabi Muhammad, Sifat Fisik Rasululloh, Sifat perangai nabi Muhammad SAW, Hak2 Rasululloh atas umatnya, keharusan mengikuti Jamaah Umat Islam dan Ulama Salafus Shaleh.
• Bid’ah dan pembagiannya, sifat golongan ahli bid’ah, larangan mengkafirkan orang islam, hakekat ibadah, pengukuhan syafaat.
• Mengambil berkah dengan jejak orang-orang baik, Tawassul, Mohon pertolongan ( istighatsah), kehidupan para nabi, Ziarah kekuburan, orang yang telah meninggal dapat merasa dan mendengar, bacaan al-Qur’an untuk orang yang sudah meninggal, hokum menyentuh dan memeluk kuburan, me-lepa kuburan dan mendirikan bangunan diatasnya, pengajaran (Talqin) kepada mayat, menyembelih binatang di dekat kuburan para wali dan menyuguhkan Nadzar kepada orang sekitarnya.
• Hukum sumpah dengan selain Allah, Kharisma (Keramat) para Wali Allah, Kemungkina melihat Rasululloh dalam keadaan sadar, Kehidupan Khaidir Alaihis Salam.
• Berobat dengan Al-Qur’an dan Asma Allah, Pesta merayakan Maulid Nabi, Dzikir dan Majelis2 Dzikir.
• Kesepakatan (Kafa’ah) dalam pernikahan, Anjuran mencintai Ahlul Bait Rasululloh SAW, larangan membenci dan menyakiti Ahlul Bait, Keutamaan Ahlul Bait Rasululloh SAW.
• Tawassul dengan membaca Sayyidina.
• Penyimpangan Akidah Syi’ah, dan Nikah Mut’ah dalam islam.

Penjabaran dari tiap2 topik di atas akan di tulis dalam bentuk note,semoga bermanfaat…..
wassalammualaikum warohmatullah wabarokatuh....
 
Free Website templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos Onlinefreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates